Pemerintah Berpotensi Langgar UU Cukai

Petani BakauJakarta,(MR)

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menilai langkah pemerintah yang menaikkan cukai rokok terhadap industri nasional hasil tembakau berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Menurut Latif, pemerintah saat ini telah keluar dari patron demi mengejar penerimaan negara. “Ada setting yang salah di sini. Cukai itu bukan instrumen utama dalam penerimaan negara,” ujar Latif, Jumat (24/5). Latif mengatakan, cukai seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol konsumsi suatu produk atau barang. Menurut dia pemerintah saat ini menggunakan pendekatan parsial dalam mengoleksi penerimaan negara. “Kalau saya melihatnya sekarang ini parsial, begitu pemerintah tidak mampu memenuhi target pajak, maka kemudian instrumen cukai yang dimainkan,” terangnya.

Padahal, lanjut Latif, semakin ekspansif kenaikan cukai terhadap produk tertentu, dapat berimplikasi pada penurunan pendapatan dari sumber penerimaan negara lainnya seperti pajak. “Ini istilahnya masuk kantong kiri keluar kantong kanan,” katanya.

Sebagaimana diberitakan, belum lama ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 78/PMK.011/2013 tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan keterkaitan.

Peraturan ini merevisi PMK 191/PMK.04/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai Untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. Peraturan ini tujuan utamanya menaikkan cukai tembakau yang mengarah kepada “single tarif” antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar pada tingkat tarif tertinggi.

Menurut Latif, pemerintah (Kemenkeu) secara sewenang-wenang menaikkan cukai rokok dengan berbagai alternatif kebijakan. Pemerintah mengabaikan mandat UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Pada Pasal 5 ayat 4 disebutkan bahwa kenaikan itu perlu memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri dan harus mendapatkan persetujuan DPR.

Namun pada prakteknya, menurut Latif, pemerintah seringkali memakai “kaca mata kuda” dalam menggenjot penerimaan Negara. “Pemerintah menggunakan pendekatan parsial dan perspektif kaca mata kuda,” tegasnya.

Latif menambahkan, ketika target penerimaan negara tercapai, cukai yang dimainkan, meski itu mempunyai dampak diametral terhadap penerimaan pajak itu sendiri dan dampak daya saing dari industri. Tetapi harus diingat, menurut ia permasalahan ada di sana. Jadi keberlangsungan industri nasional kurang diperhitungkan secara matang. “Bahwa pemerintah ekspansi cukai/pajak tetapi tidak pernah memperjuangkan eksistensi industri nasional. Menurut saya yang paling penting adalah suistanibility industri nasional,” tegasnya.

Merujuk data Kementerian Perindustrian, jumlah perusahaan rokok di Indonesia tahun 2007 mencapai 5,000 unit, lalu turun menjadi 1,500 unit di tahun 2010, kemudian turun 17% di tahun 2012 menjadi 1,000 unit. “Tiap tahun industri kretek nasional gulung tikar terutama industri kretek golongan kecil dan menengah, ini akibat pemerintah naikkan cukai,” jelasnya.

Latif juga mengritik langkah kementerian satu dengan kementerian lainnya tidak sinergis. Dia mencontohkan, sikap Kemenkeu yang cenderung memakai kaca mata kuda untuk mengkoleksi penerimaan negara. Di lain sisi, Kemenkeu tidak ada koordinasi dengan Kemenperin terkait dampak bagi keberlangsungan industri jika Kemenkeu terlalu ekspansi mencari penerimaan cukai pajak. “Ini mencerminkan gerak langkah kementerian satu dengan kementerian lain tidak sinergis. Industri nasional mengalami kalah daya saing, di sisi lain pemerintah menggerogoti industri nasional,” tukasnya. >> Nugraha

Loading

Related posts