Subang, (MR)
Semakin maraknya praktik jual beli LKS/Modul pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang ada di Kabupaten Subang adalah sebagai bukti bahwa dunia pendidikan kabupaten Subang masih menjadi Surga bagi pebisnis Buku Ajar. Adanya pembiaran dan lemahnya pengawasan dari Dinas Dikbud Kab. Subang dianggap sebagai bentuk restu terhadap bisnis tersebut, publik pun menduga adanya aksi main mata antara Disdik Subang dengan pihak Distributor.
Sikap diam yang ditampilkan Disdikbud memberikan peluang bagi pihak tertentu untuk menjalankan roda bisnisnya. Tentunya, untuk melegalkan penjualan buku LKS/Modul ini, masing-masing sekolah memiliki alasan tersendiri, dari mulai berdasarkan musyawarah orang tua siswa, penjualannya melalui koperasi sekolah, hingga penjualannya yang tidak dipaksakan.
Contohnya yang terjadi di SDN Rancabogo 2 Kec. Pagaden, penjualan buku LKS/Modul terbitan CV. Seti-aji ini ditarif dengan harga Rp. 12.000,-/Buku, pihak sekolah berdalih bahwa hal itu adalah permintaan dari orang tua siswa melalui rapat orang tua. Anehnya Kepala UPTD Pendidikan Kec. Pagaden justru membuat pengecualian sepihak dengan melegalkan jual beli buku tersebut apabila prosesnya berdasarkan hasil rapat orang tua siswa. “Kita akan crosscek apakah jual beli ini berdasarkan (musyawarah) atau tidak” katanya. Lain Halnya yang terjadi di sejumlah sekolah yang ada di UPTD Pendidikan Kec. Pusakajaya, mereka mengaku bahwa Buku LKS/Modul telah dikoordinir oleh UPTD Pendidikan. Hal itu diungkapkan oleh Kepala SDN Rangdu kepada sejumlah wartawan beberapa waktu lalu. “Ya kalau begitu saya mesti koordinasi dulu dengan UPTD, kan kesepakatannya kalau ada apa-apa nanti ada yang menangani” katanya.
Praktik jual beli buku LKS/Modul juga terjadi di sejumlah sekolah yang ada di UPTD Pendidikan Kec. Pamanukan, bahkan siswa miskin penerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) pun tidak luput dari target penjualan buku ajar tersebut.
Sementara itu, praktik jual beli LKS/Modul di tingkat Satuan Pendidikan Menengah (SMP) juga kian menjadi, disinyalir hampir semua SMP menggunakan bahan ajar yang satu ini, bahkan harga perpaketnya seragam yaitu Rp. 150.000,-/paket, seperti yang dikatakan petugas Koperasi Sekolah SMP N1 Pusakanagara. “kan udah dari sananya jangan lebih dari 150 ribu” katanya.
Begitu menggiurkannya bisnis jual beli buku LKS/Modul ini hingga menarik sejumlah pengusaha bahkan kepala sekolah yang berbeda jenjang-pun turut menjadi subdistributor, bahkan menjelma menjadi sosok penanggungjawab terhadap beredarnya buku LKS/Modul di wilayahnya.
Kondisi seperti ini nampaknya disayangkan oleh sejumlah kalangan, menurut Iwan Masna selaku orang tua siswa pada senin (20/2) mengatakan, pada dasarnya dalam roda bisnis ini, guru/kepsek hanyalah sebagai korban kebijakan para pemimpinnya, untuk pendidikan dasar (SD) biasanya buku LKS/Modul tersebut di-drop oleh UPTD Pendidikan dimasing-masing kecamatan yang membuat sekolah tidak berdaya untuk menolak kebijakan berbau bisnis tersebut. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, masih kata Iwan, sekolah justru menjadi lapak bisnis dan siswa/orang tua menjadi pangsa pasarnya.
Demikian juga yang terjadi pada satuan pendidikan menengah pertama, hanya bedanya pada tingkat SMP tidak ada UPTD Pendidikan, tekhnisnya biasanya menggunakan koordinator di masing-masing wilayah yang biasa disebut Komisariat. Maka dari itu, Iwan bersama rekan-rekan mengajak kepada semua elemen masyarakat demi menyelamatkan mental Guru/Kepsek agar berani menolak segala kebijakan yang sekiranya menyimpang dari aturan.
Apapun itu, tanda tanya besar, apakah Disdikbud Kab. Subang yang lemah atau justru sekolah yang membandel? Diharapkan pendidikan Kab. Subang lebih baik lagi. >>Asep